Minggu, 26 Oktober 2014

Cerpen "Sidoarjo Kotaku"



Sidoarjo Kotaku
Lumpur lapindo? Iyaa itu yang biasa dikatakan setiap aku bertemu dengan orang – orang yang tidak tinggal di Sidoarjo, banyak bilang bahwa kota Sidoarjo tak seindah kota Jakarta dengan Monas, kota Surabaya dengan wisata wisata indah, aah apasih hebatnya Sidoarjo? Hmmm itu yang sering aku dengar. Tapi menurutku itu kota kelahiranku yang biasanya disebut Kota Delta, karena berada di antara dua sungai besar pecahan Kali Brantas, yaitu Kali Mas dan Kali Porong, kota yang menjadi memori kehidupanku, tak kalah juga logo kabupaten menunjukkan bahwa Udang dan Bandeng adalah lambang perikanan, jangan tanyakan mengapa bisa seperti itu? Itu adalah lambang selamat datang di kota ku,tak heran juga batik Sidoarjo menjadi batik terbaik di Jawa Timur, wisata lumpu lapindo, kampung batik Jetis, Museum Mpu Tantular, Candi Pari dan masih banyak lagi wisata di Sidoarjo. Hmm aku jadi teringat saat ibu bercerita kepadaku saat aku beranjak tidur,bahwa disini adalah kota yang damai, indah banyak pertanian, dan setiap pagi di sawah selalu terdengar suara kicau burung merdu, mayoritas penduduknya rukun, masih tradisional, saling tolong menolong, dan jarang nampak pemuda – pemudi yang nakal atau rusak moral dan perilakunya. Tetapi meskipun aku tinggal di desa aku suka karena tetanggaku ramah dan masih ada rasa sosialitas antar sesama.
“Swiing” angin tiba tiba menerpa lamunanku seketika, aku berfikir “bagaimana dengan masa sekarang?”  mungkin sudah jarang terdengar lagi kata – kata seperti itu, yang ada sekarang tanah pertanian dijadikan industri, jarang terdengar kicauan burung di sawah, asap kendaraan dan polusi pabrik bertabrakan, banyak pemuda – pemudi yang hilang rasa sosialisasinya,sepintas lamunanku.
Terik matahari begitu membakar, dan membuatku malas untuk melangkahkan kakiku keluar rumah, dan suasana hatiku penat akibat efek tugas yang menumpuk, yaah demi tugas demi tugas, dalam hatiku berkata seperti itu.
Seperti biasanya aku mengendarai motor, aku berangkat dengan muka kusam, pada saat di lampu merah aku mendengar suara dari kejauhan,“Cita-citaku menjadi orang kaya, dulu di sayang sekarang ku di tendang.” Ternyata seorang anak kecil yang memainkan kaleng kencrung sebagai alat musiknya dengan muka kusam, pakaian yang tak layak dipakai itu, tak tega aku melihatnya, aku berfikir apakah anak itu tidak sekolah, lalu apa di  kota ini tidak dibuatkan saja rumah belajar untuk anak anak di jalanan sehingga mereka bisa merasakan belajar ? yang aku fikirkan saat melihat anak itu.
            Apakah disini masih belum ada yang menghadang laju kemiskinan? Meredamkan lonjakan jumlah kemiskinan, mereka hanya meminta, mereka tidur dimana, makan apa,bagaimana mereka bisa hidup tanpa orang tua ? mereka hanya meminta kepada tangan orang-orang dermawan, mereka juga pasti ingin sekolah. Aku dari kalangan orang yang tidak punya, orang tuaku bekerja sebagai tukang batik. Tetapi orang tua ku bisa menyekolahkanku. Aku bersyukur sekali.
“Cling” lmpu hijau, aku melanjutkan perjalanku ke Perpustakaan Daerah seperti biasanya aku membaca buku – buku TKJ yang biasanya membuatku penat ketika di kelas, tetapi aku bersyukur di Sidoarjo ada Perpustakaan Daerah jadi tugasku sedikit sudah hampir selesai “yuhuuuu” sedikit hilang penat dalam pikiranku.
 “trrrt..trrrt..trrt,” bunyi getar handphone di saku celanaku ternyata sms dari kakakku
“Deeek, ayo cepat pulang! Sudah jam 04.00.” Aku segera bergegas pulang, dengan mengendari motor, aku melihat setiap aku lewat di tepi jalan ada banner yang bertuliskan “Sidoarjo bersih dan hijau” tapi kenapa masih banyak orang – orang membuang sampah di sembarang tempat sehingga menimbulkan bau busuk menyengat di setiap sungai.
 “hmmm aku bingung dengan ini yang salah siapa ya, aku jadi tersindir dengan tulisan banner itu? Hehehe aku saja masih suka buang sampah sembarangan.” Gumamku sambil tertawa kecil. Tetapi tidak semua orang begitu, bahkan ada deh sekarang limbah plastik dijadikan karya.
“jegleg” sampai dirumah aku bergegas mandi, menghilangkan bau badanku yang menyengat ini. Aku merebahkan punggungku di kasur kamar tidur sambil memikirkan nanti malam aku jadi ikut nggak ya untuk tampil di pagelaran karawitan di pendopo Alun – Alun, tapi kalau aku nggak ikut sama saja aku menghilangkan seni di kota kelahiranku ini Sidoarjo, okee aku nggak boleh malas, kota Sidoarjo tidak boleh kalah dengan kota lain dalam segi seninya, contohnya tari remo yang menjadi tari khas Jawa Timur, kalau aku membayangkan sih aku kepengen bisa menari, tapi ? aku tidak mempunyai bakat untuk menari, okelah semangat setiap orang mempunyai kelebihan dan kekurangan.
Udara malam mulai terasa, aku bergegas menuju Pendopo Alun – Alun untuk segera  mengikuti pagelaran seni karawitan yang aku tekuni sejak SMP, itu sepintas menjadi hobbiku, sehari tidak mendengar alunan alunan musik karawitan rasanya pikiranku yang penat. Aku senang tinggal di Sidoarjo musik tradisional masih saja terdengar, tidak hilang meskipun banyak musik modern yang sudah masuk di kalangan pemuda pemudi sekarang, pada waktu itu aku bertemu dengan temanku SMP,”Hei, kamu masih aja main musik kayak gini, memangnya apasih hebatnya? Oh,Ndesooo!” ujar temanku. Aku mengiharukan perkataan itu,lantas aku asik bermain sambil menghayati suasana malam di Alun-Alun Sidoarjo. Memang sekarang sudah jarang yang cinta sama kebudayaannya sendiri, padahal tak sadar mereka hanya bisa menghujat, sedangkan mereka tidak bisa melakukannya.
Aku membayangkan jika aku menjadi kebanggaan kotaku, tetapi meskipun tidak terlihat, namun aku masih punya kemampuan untuk membanggakan orang tuaku minimal. Disini aku bisa mengetahui kemampuan, kemauan, dan kreatifitas, “ Suwe ora jamuu, jamu godhong telo, suwe ra ketemu ketemu pisan gawe gelo.” Ya begitu lirik lagu yang kita mainkan, ku nikmati suara merdu tiga sinden yang duduk manis sambil bernyanyi, melenggokkan pinggul.
Okelah pagelaran seni sudah selesai, seperti biasanya aku berkumpul dengan teman – temanku dan saling bercerita tentang keinginan masing masing, serpihan demi serpihan aku merasakan kehangatan cahaya alam yang diberikan Tuhan kepada kota ku, gemerlap lampu – lampu hias sudut kota menghiasi pendopo dan membuat suasana nyaman dan hati rasanya tidak ingin beranjak dari tempat itu. “Kamu hebat Nak!” ujar Guru karawitan mengagetkanku, “Terima kasih Pak..! berkat Bapak, saya cinta sama seni di Sidoarjo ini.” Jawabku dengan malu-malu.
“Iya, lanjutkan bakatmu, jangan malu dengan seni musik ini, karna ini bisa membuat kamu maju, walaupun sekarang banyak menganggap musik tradisional adalah musik yang kampungan, bahkan sudah dilupakan, yang ada sekarang banyak mereka melakukan hal – hal yang merugikan mereka!” Begitu yang dikatakan bapak itu.
Suasana disini semakin dingin, aku semakin betah duduk disini
“Naaak, ayo pulang!”  suara ayahku sambil memegang tangaanku mengajakku pulang.
“Iyaa yaah,” aku pulang dengan sejuta senyum yang ingin aku perlihatkan kepada ibuku disaat aku sampai di rumah, tetapi pada waktu di jalan sepintas aku melihat ibu dan anak sedang tidur di gerobak mungkin gerobak untuk mencari barang bekas, ya Allah sungguh malangnya nasib ibu dan anak itu, semoga bapak bupati H. Saiful Ilah, melihat potret kehidupan warga yang bermukim di wilayah Sidoarjo,termasuk warga pendatang yang telah memilih Sidoarjo tempat tinggalnya di masa depan, sehingga mereka mempercayai bahwa Sidoarjo bisa mengubah kehidupannya, tetapi apa percuma saja, jika mereka tidak diberikan lapangan pekerjaan untuk bisa mengubah hidupnya.
“Kupang Lontooong.. Kupaang Lontooong.. “
Sekilas suara itu memudarkan lamunanku, aaah, itu makanan khas Sidoarjo yang menjadi makanan kesukaanku, ditambah petis jadi makin yummii, ayah membelikanku makanan itu, sampai rumah aku menceritakan kegiatan hari ini kepada ibuku,
“Hebat anakku.” Ujar Ibu.
lalu aku lelah, aku di kamar tidur senyum senyum kupejamkan mataku, aku berfikir indahnya kota ku, aku lebih mengerti arti hidup dalam kesederhanaan, yang kujadikan motivasi untuk kedepan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar